The Power of Joint Promotion as Low Activation Cost (16.09.10)

The Power of Joint Promotion as Low Activation Cost

Seringkali kita mendengar cerita tentang Activation Event (AE) yang diselenggarakan oleh brand-brand. Beberapa diantaranya sangat megah sekali ada juga yang punya nafas panjang maklum bikinnya di 24 kota diseluruh Indonesia dengan bejibun artis-artis ternama.

Hmm betapa beruntungnya temen-temen kita yang kerja disana, dimana mereka punya resources yang lebih dari cukup untuk membuat AE seperti diatas. Pertanyaan yang sering muncul adalah Berapa besar budgetnya? Wuaaaa yang jelas seluruh budget diakhiri dengan huruf “M” atau “ratusan juta” ckckckckckck

Okay, nah sekarang kan juga lagi trend dengan yang namanya Low Cost Marketing (LCM). Walau secara definisi bisa ditarik-tarik kemana-mana namun secara umum ukuran LCM ini menjadi dua:

    1. Nominal Low Cost

    Yaitu secara nominal rupiah angka budget marketing spendingnya bernilai kecil. Dimana yang dibandingkan adalah angka nominalnya.

    Contoh:

    Brand A & Brand B sejenis dan berada dalam satu kategori dan segmen market yang sama.

    Brand A spend Rp. 5 juta, Brand B spend Rp. 10 juta.

    Nah ini berarti brand A secara nominal memiliki Lower Marketing Cost

    2. Percentage Low Cost

      Yaitu secara ratio Cost nya bernilai kecil. Dimana yang dibandingkan adalah ratio cost nya. Dan sebagai pembanding umumnya adalah revenue/sales. Namun ada juga yg lebih spesifik yaitu dengan membandingkan Incremental Sales.

      Contoh

      Brand A spend 5 juta dengan sales 10 juta = 5/10×100 = 50%

      Brand B spend 10 juta dengan sales 40 juta = 10/40×100 = 25%

      Nah ini brand B secara percentage memiliki Lower Marketing Cost

      Hmmm seru ya, dari sini kita sudah mulai menyamakan persepsi ya. Nah sekarang kita bahas tentang judul kita yaitu Joint Promotion as Low Activation Cost.

      Tulisan ini merupakan sharing pengalaman tentang bagaimana melakukan activation cost secara maksimal dengan biaya minimal namun dengan mutual benefits jadi bukan ala oknum retailer yang “memeras” para supplier nya untuk bayarin semua biaya promotion costnya ya.

      Saya cerita sedikit tentang salah satu requirement penting sebagai marketer handal yaitu Relationship and Networking (RaN). Requirement ini merupakan asset yang seringkali terlupakan. Bahkan jika ingat pun, kita masih sering mengedepankan ego brand atau company kita dalam berhubungan dengan RaN kita.

      “ma’af bro lu ada budget berapa?” atau “ma’af bro brand gw ga bisa join ama brand lu beda banget, kita maintain image nya” dan masih banyak lagi yang disampaikan…

      Kita tidak bisa salahkan sahabat-sahabat kita itu, karena memang hukum alam, tidak ada kesempatan yang bisa dilihat jika anda tidak butuh dan selama punya resources kenapa harus joint dengan brand lain? Padahal jika kita liat program mereka, semua nya mereka bayar dengan biaya mahal, kenapa tidak dengan kita ya? Huffff….

      Bayangkan jika kita ingin membuat AE disebuah sekolah untuk brand kita. Dan dibawah ini adalah kebutuhan kita untuk event tersebut:

      1. Pengisi Acara
      2. Goody Bag
      3. Booth untuk meramaikan
      4. Hadiah kompetisi

      Secara normal biaya yang kita keluarkan untuk event diatas menjadi lumayan banyak bukan? Nah sekarang bayangkan dengan mulai membuka phone book kita dan start calling:

      1. RaN yang pegang kursus music
      2. RaN yang punya brand Sosis, Permen dan Tissue
      3. RaN yang pegang kursus music, sosis, permen dan tissue tadi diajak buka booth
      4. RaN yang pegang retail tempat bermain atau voucher-voucher dari point 1&2 juga bisa diberikan

      Nah dari hal ini, somehow kita malah bisa spread kita punya activation budget untuk beberapa event bukan? Kenapa bisa begitu? Karena ada 4 brand (kursus music, sosis, perment dan tissue) yang patungan bersama untuk membuat event ini makin ramai dan ramai. Amplifikasinya? Bisa dikali 4 tuh.. maklum hari gini banyak brand yang punya FB, Twitter dan tinggal kompakan untuk amplify barengan bukan?

      Hufff… wow seru ya! Kalo udah begini, kira-kira masuk mana? Nominal or Percentage Low Cost? Atau malah dua-dua nya? Hmm…

      Dibawah ini adalah beberapa Tips untuk ini Joint Promotion adalah:

      1. Mutual Benefits

      Joint bisa terjadi jika kita bisa menemukan titik temu atas kebutuhan bersama. Nah untuk itu lihat kembali kita punya event dan lihat bagian mana yang RaN kita bisa manfaatkan sehingga bisa saling mendapatkan benefits.

      2. Zero Ego

      Eleminasi ego kita, jangan mentang-mentang brand kita multinasional bahkan internasional maka kita bahkan tidak mau berbagi exposure dengan RaN kita. Tekan ego kita dan mari berdiskusi dengan mereka untuk berbagi benefit. Seperti diperbolehkan untuk buka booth di area prime, ada brand exposure dari brand mereka. Tak pelit untuk minta MC sebutkan brand-brand mereka.

      3. Long Term not Short Term Relationship

      Stop berpikir “gw dapet apa” namun mulai berpikir “in the future gw bisa joint apa”. Pikirin ini bisa merubah pendekatan kita dari Short Term yaitu call them di kala butuh menjadi maintain relationship (Long Term). Dengan demikian kita mungkin akan balik bantu mereka saat mereka butuh kita. Atau kita akan rekomen brand mereka ke RaN kita yang lain. Wah wah wah seru kan?

      Konsep ini merupakan esensi dari The Power of Joint Promotion. Relationship and Networking (RaN) harus menjadi pilar kita sebagai marketer dalam beraktifitas. Karena brand itu adalah object dari kegiatan dan kita adalah subject nya. Mari mulai koneksikan diri kita dengan semua RaN kita dan dapatkan extra Power untuk Brand yang kita kelola sekarang.

      Seperti lagu Michael Jackson “You are not Alone”

      Advertisement

      Customer for Suspect or for Respect? (080609)

      Customer for Suspect or for Respect?

      98009516_cbdcfa4ad0_oSudah 2 mingguan ini Marketing Club (milis para marketer terbesar dan kredibel diIndonesia ini) membahas tentang kasus Prita vs Omni (saya singkat saja ya agar saya ga dituntut hehehehe – just kidding). Saya tidak akan bahas casenya, biarlah waktu dan hukum yang bercerita lebih detail. Saya akan cerita dari sisi Marketing & Operation Knowledge.

      Apa sih yang kita lihat disini? Terlepas dari motif sebenernya atau fakta yang ada, maka jelas ada api ada asap, ada sebab ada akibat. Ada complain berarti ada yang tak puas. Nah ketidakpuasan adalah gejala yang keluar dari selisih antara apa yang diharapkan dan apa diterima – dari sisi konsumen, atau apa yang dijanjikan dan apa yang diberikan – dari sisi principal.

      Sedikit refresh ttg basic Marketing, Semua kegiatan Marketing ditujukan untuk menciptakan hubungan antara customer dan produk kita via brand. Untuk apa? untuk membuat sebuah permintaan yang bersifat jangka panjang dan terus menerus, sehingga kita tidak lagi hanya bicara tentang produk sebagai pemuas kebutuhan namun sudah bicara sebagai bagian dari kebutuhan itu sendiri.

      Nah agar itu bisa terjadi, kita selalu memberikan apa yang kita janjikan yang biasa kita sebut sebagai Positioning kita yang akan disampaikan dalam bentuk eksekusi via Marketing Mix + USP. Agar semakin terikat maka kita juga menciptakan nilai-nilai dari brand kita untuk bisa mengikat secara holistic, yaitu Pikiran (Segmentasi, Targeting & Positioning), Pasar (Marketing Mix) dan Hati (Value of Brand).

      Kombinasi dari ketiga hal diatas (Pikiran, Pasar dan Hati) akan merubah kebutuhan sesaat menjadi sebuah sikap loyalitas atas brand.

      Hmm.. okay ketemu ya benang merahnya.. semoga bisa lihat keterkaitannya. Jadi kembali keparagraph dua diatas, Komplain itu punya dua sisi, Hate It or Love It. (Saya tidak akan bahas disini, tapi silahkan klik link ini untuk membaca tulisan saya ttg ini). Artinya jika kita sebagai marketer berpegang bahwa tujuan kita adalah untuk membangun Loyalitas, maka Complain harus dilihat dari sisi Love It.

      Okay, let’s move to deeper analysis. Syarat agar ada loyalitas, maka Brand itu harus punya Perceived Value yang tinggi. Kenapa Perceived Value? Karena itu adalah nilai ratio dari apa yang kita berikan dengan apa yang diterima oleh Customer. Kepuasan konsumen dilihat dari nilai itu bukan? Nilai kepuasan datang dari semua aktifitas brand atau dari semua titik hubungan brand dengan customer.

      Brand itu sendiri jika kita lihat secara holistic terdiri dari Apa yang Kita Lihat seperti Logo, Toko, Iklan dan semua hal yang berinteraksi langsung dengan customer termasuk karyawan toko dan SPG, sedangkan satu lagi adalah Apa yang Kita Tidak Lihat yaitu semua hal yang menjadi pendukung dari semua interaksi tersebut mulai dari Orang Pabrik, Accounting, Mesin, HR Departemen, Laboratorium hingga semua proses yang mengiringinya.

      Banyak Marketer sukses membangun sisi Apa yang Kita Lihat (Front) dan menghadapi banyak komplain di lapangan karena lupa ttg Apa yang Kita Tidak Lihat (Back). Kejadian yang dialami oleh Prita diawali oleh masalah sisi Back yang kemudian berkembang pada response yang kurang baik dari sisi Front. Hasilnya? 2 Mingguan ini semua media membahas kejadian ini. Apa yang didapat? Emang kalo menang dapat apa? Kebanggaan karena kita berhasil membuktikan bahwa kita benar dan tidak salah serta Customer tersebut pantas dipenjara atas sebuah pemicu dari Back side kita?

      Huff… calm down, let’s continue the Marketing Side..

      Pernah nonton Flight Plan? Yup you should watch that movie. Film itu bercerita ttg bagaimana satu orang menghadapi public dengan semua fakta yang justru menghakiminya. Bukan maen effort yang dibutuhkannya, mungkin mustahil itu bisa berakhir happy ending jika bukan di film. Begitu juga kita sebagai Marketer, kita bisa berkelit dengan semua hal yang mendukung kita untuk membuat customer kita sebagai Suspect. Namun pertanyaan yang kita harus jawab adalah Apa itu yang kita mau? Apa itu Nilai yang terkandung dalam brand kita?

      Menempatkan Customer dalam posisi Suspect membuat kita selalu berusaha bersikap defensive atas semua feed back yang mereka berikan. Kita berpikir bahwa semua proses kita adalah yang paling benar dan sempurna. Dan jika pun demikian, sikap defensive akan membuat kita kembali ke zaman dulu dimana kita membuat produk tanpa perduli apa feed back dari customer kita.

      Harus diingat bahwa kita sedang berhadapan dengan dunia Persepsi, dunia dimana kita bermain dengan apa yang ada dikepala. Persepsi itu sifatnya variable, berbeda tiap orang. Dan ini kita buktikan sebagai Marketer, dimana kita bisa membuat sebuah produk yang sama persis dipersepsikan berbeda dengan strategy Positioning. Pada bagian ini, harusnya kita sudah paham bahwa persepsi itu multitafsir dan multidimensi sehingga kita harusnya akan berhati-hati bertindak. Kita boleh memenangkan mayoritas persepsi dari target market kita dengan membuktikan bahwa customer kita tersebut adalah seorang teroris dan penipu, namun tidak ada yang bisa memastikan bahwa semua customer kita akan memiliki persepsi yang sama.

      So, kalo begitu apa untungnya menjadikan customer kita sebagai Suspect?

      Dibawah ini adalah beberapa efek jika kita menjadikan customer sebagai Suspect dan menempatkan kita sebagai Saint alias Malaikat tanpa kesalahan atau disalahkan.

      1. Paranoid Marketer

      Yup, Paranoid Marketer. Semua kegiatan dibuat dengan banyak exit clause atau yang saya sebut dengan escape clause. Hehehehe iya, pintu buat melarikan diri dengan alasan yang didukung secara hukum. Kita bisa melihat marketer tipe ini dengan melihat pada bagian aturan yang sangat detail untuk melindungi dirinya dan kalo itu semua belum cukup maka ditambah dengan sebuah * (bintang) diiringi tulisan “Peraturan bisa berubah sewaktu-waktu”.

      Kenapa begitu? Karena kita takut kita salah dan kita takut akan kesalahan itu sehingga kita bikin begitu banyak cara agar si customer itu sendiri yang menjadi Tersangka atau Suspect dari kekurangan atau akibat dari kita. Masa meminta tarif parkir tapi tidak mau tanggung jawab atas mobil yang diparkir. Atau masa mau memperbaiki Handphone yang kita produksi tapi dengan menyuruh customer bertanggung jawab atas semua kemungkinan kerusakan yang terjadi akibat dari (katanya) Authorized Service Center kita?

      2. Cold Blood Marketer

      Nah ini lebih serem, kita berubah menjadi Marketer yang berdarah dingin dimana dengan santainya kita membuat program apa adanya tanpa ada dukungan fundamental yang kuat baik secara Back ataupun Front. Karena kita bisa berlindung dengan tenang dibalik tanda bintang ajaib kita tersebut.

      So kita tidak peduli betapa sengsaranya customer kita mengantri berjam-jam bahkan berhari-hari demi sepasang sandal yang turun 70%. Bahkan kita tidak peduli betapa kecewanya customer kita yang rela naik 4 kali angkot demi membeli Selected Item dengan tulisan Persediaan Terbatas yang dibandrol 50% dijamin lebih murah.

      Yang lebih parah, kita malah mengukur kesuksesan kita dengan seberapa menderitanya customer kita untuk mendapatkan brand kita. Award pun diberikan untuk itu. Kebanggaan atas penderitaan dari orang yang membayar gaji kita. Aneh bin ajaib.. apa ini yang diajarkan oleh semua consultant, kampus dan suhu-suhu marketer kita?

      3. Angry Marketer

      angry-guypreview1Huff.. yap kita jadi sangat reaktif atas semua feed back yang diberikan oleh customer. Kalo bisa dituntut dan diseret kepenjara maka akan kita lakukan, kalo perlu suruh bayar denda ratusan juta. Atau kasarnya, siapa yang berani protes gw bikin mampus lu!

      Gile, ini Marketer??? Huff… Tidak pernah ada yang berjalan baik dimasa depan dari sebuah atau banyak kemarahan. Walau marah itu perlu, tapi penyelesaian masalah dengan amarah hanya menghasilkan win – lose solution.

      Okay.. itu beberapa akibat jika menjadikan customer sebagai Suspect. Dibawah ini adalah benefit jika kita menjadikan Customer for Respect.

      1. Open Mind Marketer

      Pertama-tama Tanda bintang itu kita buang jauh-jauh. Jika ada kesalahan dalam kegiatan kita maka dengarkanlah feed back dari customer kita. Lihat sisi baiknya, dia membantu kita untuk membuat kegiatan Marketing kita menjadi lebih baik lagi. Dia Bantu kita untuk menutup celah kesalahan dimasa mendatang.

      Buka lah pikiran kita, komplain itu sehat. Itu proses harmonisasi yang akan menentukan tujuan kita dimasa mendatang, yup…. Loyalitas. Buka mata, buka mulut, buka telinga dan buka hati kita. Buka semua akses agar mereka bisa menyalurkan kekecewaannya kita. Dan pastikan mereka tau bahwa kita tidak Cuma basa-basi mendengarkan keluhannya tapi mereka benar-benar tau bahwa berguna untuk menyampaikan ke kita karena kita adalah Open Mind Marketer.

      2. Caring Marketer

      Nah ini dia Marketer sejati, kita sudah pikirkan apa yang akan terjadi atas promosi ini. Bukan ttg kita saja, tapi juga ttg apa yang akan dialami oleh customer kita. Kalo sudah tau bahwa barangnya sedikit, so? jangan panas-panasin mereka dong. Berikan saja dengan system Lucky Dip atau Undian. Atau kalo perlu berikan pada top loyal customer kita sebagai tanda terima kasih.

      Menyayangi customer kita berarti kita menyayangi masa depan dari Brand kita bukan? Jangan anggap remeh 1 orang, karena jumlah bukanlah penentu tapi apa yang dia bisa lakukan adalah kekuatannya. Lagi pula jika dia tak berarti kenapa kita tidak berusaha membuat mereka lebih berarti? Remember, Perception is capital for Brand Image.

      3. Relationship Marketer

      ccp_kiersAda complain? Ajak diskusi, cari tau kenapa dan follow up. Sebagai mana open mind marketer, menjadi Relationship Marketer (RM) membuat kita sebagai sahabat bagi customer. Tidak seperti menangani complain biasa yang hanya sebagai pemadam kebakaran, tapi membangun hubungan yang lebih erat dari hanya sebagai customer.

      Nah ini yang akan menjadi action dari konsep marketing masa depan yang melibatkan customer dalam pengembangan produk kita. Orang yang mengkritik kita berarti orang yang bisa melihat kekurangan kita. Nah orang-orang yang bisa melihat kekurangan kita adalah orang – orang yang kita butuhkan untuk menjadi bagian dari perjalanan perkembangan produk kita dimasa mendatang.

      Begitu ada yang komplain, dengarkan dan ajak diskusi untuk membuat perbaikan. Seberapa konyolpun yang mereka katakan, hargai itu sebagai masukan. Karena jika competitor anda yang melakukan maka percayalah andalah yang akan terlihat konyol.

      So? Which one are u guys? Customer for Suspect or for Respect?