Customer for Suspect or for Respect? (080609)

Customer for Suspect or for Respect?

98009516_cbdcfa4ad0_oSudah 2 mingguan ini Marketing Club (milis para marketer terbesar dan kredibel diIndonesia ini) membahas tentang kasus Prita vs Omni (saya singkat saja ya agar saya ga dituntut hehehehe – just kidding). Saya tidak akan bahas casenya, biarlah waktu dan hukum yang bercerita lebih detail. Saya akan cerita dari sisi Marketing & Operation Knowledge.

Apa sih yang kita lihat disini? Terlepas dari motif sebenernya atau fakta yang ada, maka jelas ada api ada asap, ada sebab ada akibat. Ada complain berarti ada yang tak puas. Nah ketidakpuasan adalah gejala yang keluar dari selisih antara apa yang diharapkan dan apa diterima – dari sisi konsumen, atau apa yang dijanjikan dan apa yang diberikan – dari sisi principal.

Sedikit refresh ttg basic Marketing, Semua kegiatan Marketing ditujukan untuk menciptakan hubungan antara customer dan produk kita via brand. Untuk apa? untuk membuat sebuah permintaan yang bersifat jangka panjang dan terus menerus, sehingga kita tidak lagi hanya bicara tentang produk sebagai pemuas kebutuhan namun sudah bicara sebagai bagian dari kebutuhan itu sendiri.

Nah agar itu bisa terjadi, kita selalu memberikan apa yang kita janjikan yang biasa kita sebut sebagai Positioning kita yang akan disampaikan dalam bentuk eksekusi via Marketing Mix + USP. Agar semakin terikat maka kita juga menciptakan nilai-nilai dari brand kita untuk bisa mengikat secara holistic, yaitu Pikiran (Segmentasi, Targeting & Positioning), Pasar (Marketing Mix) dan Hati (Value of Brand).

Kombinasi dari ketiga hal diatas (Pikiran, Pasar dan Hati) akan merubah kebutuhan sesaat menjadi sebuah sikap loyalitas atas brand.

Hmm.. okay ketemu ya benang merahnya.. semoga bisa lihat keterkaitannya. Jadi kembali keparagraph dua diatas, Komplain itu punya dua sisi, Hate It or Love It. (Saya tidak akan bahas disini, tapi silahkan klik link ini untuk membaca tulisan saya ttg ini). Artinya jika kita sebagai marketer berpegang bahwa tujuan kita adalah untuk membangun Loyalitas, maka Complain harus dilihat dari sisi Love It.

Okay, let’s move to deeper analysis. Syarat agar ada loyalitas, maka Brand itu harus punya Perceived Value yang tinggi. Kenapa Perceived Value? Karena itu adalah nilai ratio dari apa yang kita berikan dengan apa yang diterima oleh Customer. Kepuasan konsumen dilihat dari nilai itu bukan? Nilai kepuasan datang dari semua aktifitas brand atau dari semua titik hubungan brand dengan customer.

Brand itu sendiri jika kita lihat secara holistic terdiri dari Apa yang Kita Lihat seperti Logo, Toko, Iklan dan semua hal yang berinteraksi langsung dengan customer termasuk karyawan toko dan SPG, sedangkan satu lagi adalah Apa yang Kita Tidak Lihat yaitu semua hal yang menjadi pendukung dari semua interaksi tersebut mulai dari Orang Pabrik, Accounting, Mesin, HR Departemen, Laboratorium hingga semua proses yang mengiringinya.

Banyak Marketer sukses membangun sisi Apa yang Kita Lihat (Front) dan menghadapi banyak komplain di lapangan karena lupa ttg Apa yang Kita Tidak Lihat (Back). Kejadian yang dialami oleh Prita diawali oleh masalah sisi Back yang kemudian berkembang pada response yang kurang baik dari sisi Front. Hasilnya? 2 Mingguan ini semua media membahas kejadian ini. Apa yang didapat? Emang kalo menang dapat apa? Kebanggaan karena kita berhasil membuktikan bahwa kita benar dan tidak salah serta Customer tersebut pantas dipenjara atas sebuah pemicu dari Back side kita?

Huff… calm down, let’s continue the Marketing Side..

Pernah nonton Flight Plan? Yup you should watch that movie. Film itu bercerita ttg bagaimana satu orang menghadapi public dengan semua fakta yang justru menghakiminya. Bukan maen effort yang dibutuhkannya, mungkin mustahil itu bisa berakhir happy ending jika bukan di film. Begitu juga kita sebagai Marketer, kita bisa berkelit dengan semua hal yang mendukung kita untuk membuat customer kita sebagai Suspect. Namun pertanyaan yang kita harus jawab adalah Apa itu yang kita mau? Apa itu Nilai yang terkandung dalam brand kita?

Menempatkan Customer dalam posisi Suspect membuat kita selalu berusaha bersikap defensive atas semua feed back yang mereka berikan. Kita berpikir bahwa semua proses kita adalah yang paling benar dan sempurna. Dan jika pun demikian, sikap defensive akan membuat kita kembali ke zaman dulu dimana kita membuat produk tanpa perduli apa feed back dari customer kita.

Harus diingat bahwa kita sedang berhadapan dengan dunia Persepsi, dunia dimana kita bermain dengan apa yang ada dikepala. Persepsi itu sifatnya variable, berbeda tiap orang. Dan ini kita buktikan sebagai Marketer, dimana kita bisa membuat sebuah produk yang sama persis dipersepsikan berbeda dengan strategy Positioning. Pada bagian ini, harusnya kita sudah paham bahwa persepsi itu multitafsir dan multidimensi sehingga kita harusnya akan berhati-hati bertindak. Kita boleh memenangkan mayoritas persepsi dari target market kita dengan membuktikan bahwa customer kita tersebut adalah seorang teroris dan penipu, namun tidak ada yang bisa memastikan bahwa semua customer kita akan memiliki persepsi yang sama.

So, kalo begitu apa untungnya menjadikan customer kita sebagai Suspect?

Dibawah ini adalah beberapa efek jika kita menjadikan customer sebagai Suspect dan menempatkan kita sebagai Saint alias Malaikat tanpa kesalahan atau disalahkan.

1. Paranoid Marketer

Yup, Paranoid Marketer. Semua kegiatan dibuat dengan banyak exit clause atau yang saya sebut dengan escape clause. Hehehehe iya, pintu buat melarikan diri dengan alasan yang didukung secara hukum. Kita bisa melihat marketer tipe ini dengan melihat pada bagian aturan yang sangat detail untuk melindungi dirinya dan kalo itu semua belum cukup maka ditambah dengan sebuah * (bintang) diiringi tulisan “Peraturan bisa berubah sewaktu-waktu”.

Kenapa begitu? Karena kita takut kita salah dan kita takut akan kesalahan itu sehingga kita bikin begitu banyak cara agar si customer itu sendiri yang menjadi Tersangka atau Suspect dari kekurangan atau akibat dari kita. Masa meminta tarif parkir tapi tidak mau tanggung jawab atas mobil yang diparkir. Atau masa mau memperbaiki Handphone yang kita produksi tapi dengan menyuruh customer bertanggung jawab atas semua kemungkinan kerusakan yang terjadi akibat dari (katanya) Authorized Service Center kita?

2. Cold Blood Marketer

Nah ini lebih serem, kita berubah menjadi Marketer yang berdarah dingin dimana dengan santainya kita membuat program apa adanya tanpa ada dukungan fundamental yang kuat baik secara Back ataupun Front. Karena kita bisa berlindung dengan tenang dibalik tanda bintang ajaib kita tersebut.

So kita tidak peduli betapa sengsaranya customer kita mengantri berjam-jam bahkan berhari-hari demi sepasang sandal yang turun 70%. Bahkan kita tidak peduli betapa kecewanya customer kita yang rela naik 4 kali angkot demi membeli Selected Item dengan tulisan Persediaan Terbatas yang dibandrol 50% dijamin lebih murah.

Yang lebih parah, kita malah mengukur kesuksesan kita dengan seberapa menderitanya customer kita untuk mendapatkan brand kita. Award pun diberikan untuk itu. Kebanggaan atas penderitaan dari orang yang membayar gaji kita. Aneh bin ajaib.. apa ini yang diajarkan oleh semua consultant, kampus dan suhu-suhu marketer kita?

3. Angry Marketer

angry-guypreview1Huff.. yap kita jadi sangat reaktif atas semua feed back yang diberikan oleh customer. Kalo bisa dituntut dan diseret kepenjara maka akan kita lakukan, kalo perlu suruh bayar denda ratusan juta. Atau kasarnya, siapa yang berani protes gw bikin mampus lu!

Gile, ini Marketer??? Huff… Tidak pernah ada yang berjalan baik dimasa depan dari sebuah atau banyak kemarahan. Walau marah itu perlu, tapi penyelesaian masalah dengan amarah hanya menghasilkan win – lose solution.

Okay.. itu beberapa akibat jika menjadikan customer sebagai Suspect. Dibawah ini adalah benefit jika kita menjadikan Customer for Respect.

1. Open Mind Marketer

Pertama-tama Tanda bintang itu kita buang jauh-jauh. Jika ada kesalahan dalam kegiatan kita maka dengarkanlah feed back dari customer kita. Lihat sisi baiknya, dia membantu kita untuk membuat kegiatan Marketing kita menjadi lebih baik lagi. Dia Bantu kita untuk menutup celah kesalahan dimasa mendatang.

Buka lah pikiran kita, komplain itu sehat. Itu proses harmonisasi yang akan menentukan tujuan kita dimasa mendatang, yup…. Loyalitas. Buka mata, buka mulut, buka telinga dan buka hati kita. Buka semua akses agar mereka bisa menyalurkan kekecewaannya kita. Dan pastikan mereka tau bahwa kita tidak Cuma basa-basi mendengarkan keluhannya tapi mereka benar-benar tau bahwa berguna untuk menyampaikan ke kita karena kita adalah Open Mind Marketer.

2. Caring Marketer

Nah ini dia Marketer sejati, kita sudah pikirkan apa yang akan terjadi atas promosi ini. Bukan ttg kita saja, tapi juga ttg apa yang akan dialami oleh customer kita. Kalo sudah tau bahwa barangnya sedikit, so? jangan panas-panasin mereka dong. Berikan saja dengan system Lucky Dip atau Undian. Atau kalo perlu berikan pada top loyal customer kita sebagai tanda terima kasih.

Menyayangi customer kita berarti kita menyayangi masa depan dari Brand kita bukan? Jangan anggap remeh 1 orang, karena jumlah bukanlah penentu tapi apa yang dia bisa lakukan adalah kekuatannya. Lagi pula jika dia tak berarti kenapa kita tidak berusaha membuat mereka lebih berarti? Remember, Perception is capital for Brand Image.

3. Relationship Marketer

ccp_kiersAda complain? Ajak diskusi, cari tau kenapa dan follow up. Sebagai mana open mind marketer, menjadi Relationship Marketer (RM) membuat kita sebagai sahabat bagi customer. Tidak seperti menangani complain biasa yang hanya sebagai pemadam kebakaran, tapi membangun hubungan yang lebih erat dari hanya sebagai customer.

Nah ini yang akan menjadi action dari konsep marketing masa depan yang melibatkan customer dalam pengembangan produk kita. Orang yang mengkritik kita berarti orang yang bisa melihat kekurangan kita. Nah orang-orang yang bisa melihat kekurangan kita adalah orang – orang yang kita butuhkan untuk menjadi bagian dari perjalanan perkembangan produk kita dimasa mendatang.

Begitu ada yang komplain, dengarkan dan ajak diskusi untuk membuat perbaikan. Seberapa konyolpun yang mereka katakan, hargai itu sebagai masukan. Karena jika competitor anda yang melakukan maka percayalah andalah yang akan terlihat konyol.

So? Which one are u guys? Customer for Suspect or for Respect?

Advertisement

Complain: Hate it or Love it? (24.08.08)

Complain: Hate it or Love it?

 

Hmm Complain.. Apapun yang bersifat interaksi akan berpotensi menimbulkan komplain. Termasuk didunia Marketing. Kita mungkin sering membaca di Surat Pembaca Koran yang berisi “Luapan amarah” dari konsumen yang kecewa baik atas pelayanan hingga kualitas produk. Response yang diberikan oleh Beberapa company, nampak betapa mereka menanggapi serius hal ini, baik menghubungi langsung ataupun bahkan mengirim jajaran managementnya untuk mengunjungi si konsumen. Namun banyak juga yang malah membiarkan saja, ibarat kata, “Anjing menggonggong Khafilah berlalu”. Mereka tidak perduli, beberapa malah mengancam si konsumen untuk menulis permintaan ma’af atau dituntut.

 

Saya juga sering menerima komplain dan juga beberapa kali melakukan komplain. Tipe customer yang komplain ada yang memang mencari solusi atas kebuntuan dan ketidakpuasan atas pelayanan/kualitas, ada yang memang sudah kecewa berat hingga malah menjadi “teroris” yang nothing to lose serta Ada juga memang customer yang “genuinely” komplain atas kekurangan si produsen hingga yang malah jadi “preman” dan mau enaknya sendiri dengan mencari-mencari sejuta alasan untuk keuntungan pribadinya semata, tanpa melihat bahwa itu terjadi karena kesalahan mereka sendiri.

 

Okay enough.. Let’s see the Marketing view..

 

Apasih benefit dari Complain bagi kita para pemilik brand? Ada ga sih benefitnya buat brand kita? Atau hanya menyusahkan saja?

 

Do you Hate it?

Ada banyak kejadian dimana customer yang komplain membuat masalah luar biasa bagi kita dan brand kita. Wow?! Kenapa bisa begitu? Yap! Pelanggan yang tidak puas akan melakukan jalan apa saja untuk mencapai solusinya. Masih ingat dong kasus penelitian ttg susu formula yang tercemar bakteri enterobacter sakazakii, yap kasus dimulai dari hasil penelitian IPB yang menyatakan bahwa ada beberapa susu formula yang tercemar bakteri, namun secara kontroversial diputuskan untuk tidak mengumumkan Brand dan Produsen dari susu yang diteliti. Banyak opini beredar bahwa jika hasil tersebut diumumkan maka akan mengakibatkan Produk-produk yang diteliti hancur dipasaran. Namun tanggal 20 Agustus 2008, Hakim memerintahkan agar Brand susu yang diteliti agar diumumkan, setelah seorang customer bernama David ML Tobing melakukan gugatan. Sekarang kita tinggal melihat hasilnya.. Sebagai Brand Manager dari susu formula tersebut, keputusan ini bisa dibilang kiamat! Brand Image, Brand Share, Market Share yang sudah dibangun bertahun-tahun akan segera hancur seperti habis dilanda Tsunami.

 

Atau bisa juga melihat kejadian yang dialami oleh Danone via 2 brand nya Aqua dan Mizone. Dimana mereka harus menarik produk bermasalah pada Aqua gelas 240 ml (cup/gelas) dengan kode produksi 260409 L221 keluaran Pabrik Pandaan, Jawa Timur hasil penelitian dari BPOM Makassar dan Mizone harus rela kehilangan pasar yang sudah dibangunnya dengan susah payah akibat skandal label, gimana tidak wong para kompetitornya dengan suka cita memanfaatkan isu ini sebagai bahan promosi gratis dan powerful!.

 

Atau kalo masih kurang, silahkan buka Koran-koran Nasional, anda akan melihat banyak brand yang di”maki-maki”  secara bebas lepas atau anda juga bisa klik Media Konsumen salah satu media Internet yang berisi komplain dari para customer.

 

Apa sih efek dari semua komplain-komplain ini?

1. Bad WOM

Yap! Seperti pepatah bilang, Kabar Buruk beredar kesemua orang, Kabar Baik disimpan sendiri. Apalagi Kabar buruk selalu tidak membutuhkan klarifikasi dari fakta sebenarnya. Artinya, kita harus berjuang sendiri untuk mengedukasi dan melakukan counter attack atas isu tersebut. Pada tahap ini tidak Cuma biaya yang keluar besar tapi juga waktu dan effort untuk menjalankan program edukasi secara konsisten

 

2. Image Degradation

Hasil Bad WOM itu akan mengakibatkan hancurnya image yang selama ini sudah susah payah dibentuk, dibangun dan dipertahankan. Air Minum sehat kok ada Jamur? Pembangunan image kembali seperti membuat produk baru lagi. Hasilnya? Bisa macam-macam ada yang bisa bangkit lagi seperti kasus Mizone namun ada juga yang masih berjuang seperti yang dialami oleh HIT.

 

3. Product Reconstruction

Nah dikasus ini, kita harus mengganti, memperbaiki produk kita yang bermasalah. Ini berarti akan ada kegiatan R&D kembali untuk merekonstruksi ulang bagian-bagian yang bermasalah. Untuk dibeberapa Industri, produk yang rusak kita bisa ganti langsung dengan yang lebih baik. Namun di Industri sekelas otomotif, pabrikan bahkan harus menarik fisik mobil tersebut untuk diperbaiki dan diganti.

 

4. Kehilangan Share dan Sales

Ini adalah ultimate effect dari komplain, kita kehilangan Market Share yang sudah kita kuasai yang tentu saja berakibat dengan kekurangan sales kita secara significant. Teburuknya adalah matinya Brand kita secara tragis.

 

Okay that’s the Hate Factors..

 

Do You Love It?

Secara eksplisit memang belum terlihat adanya Brand yang menempatkan komplain sebagai sebuah penghargaan atau menganggap komplain sebagai sebuah perhatian yang tulus dari customer mereka. Namun sekarang sudah banyak perusahaan yang membuka keran komunikasi ke para customernya. Mulai dari Customer Service Contact Center hingga Link Contact Us di Official Web mereka. Tapi semuanya baru bersifat reactive artinya keran komunikasi itu bergerak setelah ada trigger komplain dari customer. Malah dalam beberapa case, pandangan miring ditujukan atas usaha ini. Karena dianggap sebagai salah satu cara untuk mengurangi atau mengendalikan komplain yang tereksposure bebas.

 

Syukurnya tidak semua Perusahaan seperti itu, ada juga yang malah sudah membuka komunikasi yang lebih interaktif dengan customernya dengan membuka forum ngobrol (chat forum). Ini bisa kita temui pada web-web mereka, cukup klik link forum yang mereka sediakan, maka kita bisa bebas berinteraksi, dan yang serunya kita tidak hanya bicara dengan pihak principal tapi lebih banyak saling tukar pengalaman dengan sesama pelanggan! Anda bisa lihat forum seperti ini diantaranya pada Djarum Super Soccer dan Dagadu.

 

Apasih keuntungan komplain bagi kita?

1. Genuine Feedback

Bisa dibilang, ini adalah “the most real feedback”. Karena komplain merupakan curahan isi perasaan dari pengalaman langsung mereka menggunakan Brand kita. Apa yang mereka rasakan adalah cerminan selisih gap antara harapan yang mereka inginkan dengan kualitas yang kita berikan. Jika kita anggap ini sebagai titik tolak perbaikan, maka akan ada improvement yang lebih mengacu pada realita harapan mereka.

 

2. Loyal and Care Customer

Banyak orang yang saat kecewa memilih diam namun bersumpah dalam hati tidak akan mau lagi membeli produk kita. Nah, Para “tukang komplain” ini justru memilih bicara saat mereka tidak puas. Kenapa? Karena mereka masih mau membeli produk kita dimasa yang akan datang dan dia ingin produk kita ditingkatkan lagi kualitasnya. Persis seperti rasa sayang yang kita punya saat kita menegur dan marah pada orang yang kita sayang saat mereka melakukan kesalahan. Dengarkanlah dan lakukan perbaikan.

 

3. Responsibility

Kita bukan produsen yang menjual barang dan kemudian tidak peduli dengan customer kita bukan? Para customer yang komplain itu adalah target market kita bukan? Atau kita adalah tipe produsen yang tidak perduli pada target market kita? dan kita hanya berpikir ttg sales dan sales? Melakukan response yang cepat, tanggap dan menyentuh masalah justru mempertegas kita sebagai produsen yang Kredibel. Karena Kita memperlakukan para customer kita sebagai partner jangka panjang dan menjadikan mereka sebagai stake holder kita yang sama pentingnya dengan share holder kita. Facing the Burtal Fact is the way to Sustainable Brand.

 

So? Where are you and your brand guys?

 

Complain: Hate it or Love it?