Complain: Hate it or Love it? (24.08.08)

Complain: Hate it or Love it?

 

Hmm Complain.. Apapun yang bersifat interaksi akan berpotensi menimbulkan komplain. Termasuk didunia Marketing. Kita mungkin sering membaca di Surat Pembaca Koran yang berisi “Luapan amarah” dari konsumen yang kecewa baik atas pelayanan hingga kualitas produk. Response yang diberikan oleh Beberapa company, nampak betapa mereka menanggapi serius hal ini, baik menghubungi langsung ataupun bahkan mengirim jajaran managementnya untuk mengunjungi si konsumen. Namun banyak juga yang malah membiarkan saja, ibarat kata, “Anjing menggonggong Khafilah berlalu”. Mereka tidak perduli, beberapa malah mengancam si konsumen untuk menulis permintaan ma’af atau dituntut.

 

Saya juga sering menerima komplain dan juga beberapa kali melakukan komplain. Tipe customer yang komplain ada yang memang mencari solusi atas kebuntuan dan ketidakpuasan atas pelayanan/kualitas, ada yang memang sudah kecewa berat hingga malah menjadi “teroris” yang nothing to lose serta Ada juga memang customer yang “genuinely” komplain atas kekurangan si produsen hingga yang malah jadi “preman” dan mau enaknya sendiri dengan mencari-mencari sejuta alasan untuk keuntungan pribadinya semata, tanpa melihat bahwa itu terjadi karena kesalahan mereka sendiri.

 

Okay enough.. Let’s see the Marketing view..

 

Apasih benefit dari Complain bagi kita para pemilik brand? Ada ga sih benefitnya buat brand kita? Atau hanya menyusahkan saja?

 

Do you Hate it?

Ada banyak kejadian dimana customer yang komplain membuat masalah luar biasa bagi kita dan brand kita. Wow?! Kenapa bisa begitu? Yap! Pelanggan yang tidak puas akan melakukan jalan apa saja untuk mencapai solusinya. Masih ingat dong kasus penelitian ttg susu formula yang tercemar bakteri enterobacter sakazakii, yap kasus dimulai dari hasil penelitian IPB yang menyatakan bahwa ada beberapa susu formula yang tercemar bakteri, namun secara kontroversial diputuskan untuk tidak mengumumkan Brand dan Produsen dari susu yang diteliti. Banyak opini beredar bahwa jika hasil tersebut diumumkan maka akan mengakibatkan Produk-produk yang diteliti hancur dipasaran. Namun tanggal 20 Agustus 2008, Hakim memerintahkan agar Brand susu yang diteliti agar diumumkan, setelah seorang customer bernama David ML Tobing melakukan gugatan. Sekarang kita tinggal melihat hasilnya.. Sebagai Brand Manager dari susu formula tersebut, keputusan ini bisa dibilang kiamat! Brand Image, Brand Share, Market Share yang sudah dibangun bertahun-tahun akan segera hancur seperti habis dilanda Tsunami.

 

Atau bisa juga melihat kejadian yang dialami oleh Danone via 2 brand nya Aqua dan Mizone. Dimana mereka harus menarik produk bermasalah pada Aqua gelas 240 ml (cup/gelas) dengan kode produksi 260409 L221 keluaran Pabrik Pandaan, Jawa Timur hasil penelitian dari BPOM Makassar dan Mizone harus rela kehilangan pasar yang sudah dibangunnya dengan susah payah akibat skandal label, gimana tidak wong para kompetitornya dengan suka cita memanfaatkan isu ini sebagai bahan promosi gratis dan powerful!.

 

Atau kalo masih kurang, silahkan buka Koran-koran Nasional, anda akan melihat banyak brand yang di”maki-maki”  secara bebas lepas atau anda juga bisa klik Media Konsumen salah satu media Internet yang berisi komplain dari para customer.

 

Apa sih efek dari semua komplain-komplain ini?

1. Bad WOM

Yap! Seperti pepatah bilang, Kabar Buruk beredar kesemua orang, Kabar Baik disimpan sendiri. Apalagi Kabar buruk selalu tidak membutuhkan klarifikasi dari fakta sebenarnya. Artinya, kita harus berjuang sendiri untuk mengedukasi dan melakukan counter attack atas isu tersebut. Pada tahap ini tidak Cuma biaya yang keluar besar tapi juga waktu dan effort untuk menjalankan program edukasi secara konsisten

 

2. Image Degradation

Hasil Bad WOM itu akan mengakibatkan hancurnya image yang selama ini sudah susah payah dibentuk, dibangun dan dipertahankan. Air Minum sehat kok ada Jamur? Pembangunan image kembali seperti membuat produk baru lagi. Hasilnya? Bisa macam-macam ada yang bisa bangkit lagi seperti kasus Mizone namun ada juga yang masih berjuang seperti yang dialami oleh HIT.

 

3. Product Reconstruction

Nah dikasus ini, kita harus mengganti, memperbaiki produk kita yang bermasalah. Ini berarti akan ada kegiatan R&D kembali untuk merekonstruksi ulang bagian-bagian yang bermasalah. Untuk dibeberapa Industri, produk yang rusak kita bisa ganti langsung dengan yang lebih baik. Namun di Industri sekelas otomotif, pabrikan bahkan harus menarik fisik mobil tersebut untuk diperbaiki dan diganti.

 

4. Kehilangan Share dan Sales

Ini adalah ultimate effect dari komplain, kita kehilangan Market Share yang sudah kita kuasai yang tentu saja berakibat dengan kekurangan sales kita secara significant. Teburuknya adalah matinya Brand kita secara tragis.

 

Okay that’s the Hate Factors..

 

Do You Love It?

Secara eksplisit memang belum terlihat adanya Brand yang menempatkan komplain sebagai sebuah penghargaan atau menganggap komplain sebagai sebuah perhatian yang tulus dari customer mereka. Namun sekarang sudah banyak perusahaan yang membuka keran komunikasi ke para customernya. Mulai dari Customer Service Contact Center hingga Link Contact Us di Official Web mereka. Tapi semuanya baru bersifat reactive artinya keran komunikasi itu bergerak setelah ada trigger komplain dari customer. Malah dalam beberapa case, pandangan miring ditujukan atas usaha ini. Karena dianggap sebagai salah satu cara untuk mengurangi atau mengendalikan komplain yang tereksposure bebas.

 

Syukurnya tidak semua Perusahaan seperti itu, ada juga yang malah sudah membuka komunikasi yang lebih interaktif dengan customernya dengan membuka forum ngobrol (chat forum). Ini bisa kita temui pada web-web mereka, cukup klik link forum yang mereka sediakan, maka kita bisa bebas berinteraksi, dan yang serunya kita tidak hanya bicara dengan pihak principal tapi lebih banyak saling tukar pengalaman dengan sesama pelanggan! Anda bisa lihat forum seperti ini diantaranya pada Djarum Super Soccer dan Dagadu.

 

Apasih keuntungan komplain bagi kita?

1. Genuine Feedback

Bisa dibilang, ini adalah “the most real feedback”. Karena komplain merupakan curahan isi perasaan dari pengalaman langsung mereka menggunakan Brand kita. Apa yang mereka rasakan adalah cerminan selisih gap antara harapan yang mereka inginkan dengan kualitas yang kita berikan. Jika kita anggap ini sebagai titik tolak perbaikan, maka akan ada improvement yang lebih mengacu pada realita harapan mereka.

 

2. Loyal and Care Customer

Banyak orang yang saat kecewa memilih diam namun bersumpah dalam hati tidak akan mau lagi membeli produk kita. Nah, Para “tukang komplain” ini justru memilih bicara saat mereka tidak puas. Kenapa? Karena mereka masih mau membeli produk kita dimasa yang akan datang dan dia ingin produk kita ditingkatkan lagi kualitasnya. Persis seperti rasa sayang yang kita punya saat kita menegur dan marah pada orang yang kita sayang saat mereka melakukan kesalahan. Dengarkanlah dan lakukan perbaikan.

 

3. Responsibility

Kita bukan produsen yang menjual barang dan kemudian tidak peduli dengan customer kita bukan? Para customer yang komplain itu adalah target market kita bukan? Atau kita adalah tipe produsen yang tidak perduli pada target market kita? dan kita hanya berpikir ttg sales dan sales? Melakukan response yang cepat, tanggap dan menyentuh masalah justru mempertegas kita sebagai produsen yang Kredibel. Karena Kita memperlakukan para customer kita sebagai partner jangka panjang dan menjadikan mereka sebagai stake holder kita yang sama pentingnya dengan share holder kita. Facing the Burtal Fact is the way to Sustainable Brand.

 

So? Where are you and your brand guys?

 

Complain: Hate it or Love it?

Advertisement

Karyawan Mall, Target Potensial yang Terlupakan? (17.08.08)

Karyawan Mall, Target Potensial yang Terlupakan?

 

Store kita dimall selalu sepi? Mungkin bukan karena store kita yang tidak mampu menarik traffic, tapi bisa jadi traffic mall yang kita tempati memang sangat-sangat sepi! Hmm.. kalo ga ada pengunjung trus mau jualan ama siapa? Percuma kasih promosi ke orang-orang lah wong orangnya yang ga ada hehehehhe

 

Okay calm guys, Let’s see around. Mall itu memiliki 2 Captive Market (CM)

1. Pengunjung yang datang ke Mall

Pengunjung atau yang biasa kita sebut dengan traffic adalah target market regular kita sebagai retail store di mall. Semakin tinggi dan konstan traffic yang datang semakin besar opportunity kita untuk meraih sales.

 

 

2. Karyawan yang bekerja di Mall

Wah apa neh? Kok Karyawan masuk jadi Captive Market? Hmm.. Karyawan yang kerja dimall itu punya kebutuhan yang sama dengan pengunjung mall bukan? Wong sama-sama manusia hehehhe.. Mereka butuh makan, minum, beli baju, beli buku, beli sepatu, main games, nonton dan banyak lagi kebutuhan mereka.

 

Nah, Point kedua diatas yang akan kita bahas dalam artikel ini, Karyawan yang bekerja di Mall..

 

Berapa besar sih potensi Captive Market (CM) ini?

Jumlah karyawan minimal yang bekerja dimall adalah (1 orang x jumlah tenant yang ada) + Jumlah pegawai Cleaning service + Jumlah pegawai pengelola mall.

Nah kalo Mallnya punya 2 lantai dengan jumlah tenant sekitar 100 tenant, maka jelas kita punya CM dari Karyawan minimal berjumlah 100 orang. Itu baru pershift, padahal rata-rata 1 tenant itu punya 2 shift. Silahkan dikali sendiri.. J

Ini kita baru bicara mereka sebagai 1 individu, Padahal mereka punya pacar, istri, anak dan keluarga bukan?

 

Berapa besar value dari Captive Market (CM) ini?

Nilai per orangnya memang tidak terlalu besar, namun nilai gabungannya merupakan pasar yang menggiurkan. Apalagi jika kebutuhan itu sifatnya regular. Cara gampang menghitungnya adalah dengan mengkalikan nilai rata-rata terkecil harga barang yang dibutuhkan dengan jumlah karyawan.

Contoh:

Nilai 1 Porsi Makanan + Minum = Rp. 8.000,-

Jumlah Karyawan 100 orang

Maka Valuenya adalah 100 orang x Rp.8000,- = Rp.800.000,- per shift.

Bagaimana dengan Outlet TV dan Baju? Kan ga tiap hari mereka beli?

Semakin rendah tingkat kebutuhan akan barang tersebut maka semakin rendah presentase frekuensi dan total pembeli dari kalangan karyawan.

 

Okay biar kita ga ribet dengan penjelasan diatas, mari kita lihat 4 (empat) Karakteristik dari Captive Market Karyawan Mall ini:

 

1. Main Driver to Purchase : Value for Money

Yap! Memang mereka adalah tipe price sensitive, namun mereka juga tidak mendewakan harga murah. Tapi lebih kepada faktir Value for Money. Oleh karena itu kita masih bisa melihat mereka makan di restoran sekelas KFC.

 

2. Influencer : Community Based

Komunitas mereka adalah influencer yang utama. Bayangkan selama 8 jam sehari dan 25 hari sebulan mereka bertemu. Ikatan relationship antar mereka menjadi sangat erat sekali. Sehingga banyak hal mereka lakukan atas dorongan komunitas ini. Satu makan dimana, semua makan disitu. Dan jika satu orang menemukan tempat baru, maka semua komunitasnya akan mencobanya.

 

3. SES : C & D

Range gaji mereka mulai dari UMP (upah minimum propinsi) s/d 20% diatasnya. Ini untuk level karyawan biasa. Level C&D adalah mayoritas dalam hal populasi ini.

 

4. Type of Payment Preferred : Credit

Mereka adalah pecinta kredit, maklum kebutuhan tinggi namun pendapatan terbatas. Apalagi kehidupan di Mall membuat mereka tergoda atas berbagai Lifestyle Trend yang ada.

 

Hmm.. setelah tau mereka punya karakteristik, maka kita bisa langsung set up program buat mereka:

1. Special Rate / Discount for Value for Money

Percaya ga percaya, KFC Attack yang dimulai jam 3 sore itu banyak dipenuhi oleh para karyawan Mall. Pemberian special price untuk para karyawan merupakan cara jitu untuk menghadapi Value for Money mereka.

Jangan takut kebobolan, kita bisa bikin filter dengan penunjukkan ID karyawan sebagai syarat membeli paket tersebut, hasilnya kita punya program ga akan bobol.

Saya malah pernah menemui tenant restoran yang membuat paket makanan untuk karyawan yang harganya mencapai 30% lebih murah dari regular price mereka. Hasilnya? Sampai ada yang bikin kontrak dengan mereka untuk memastikan agar paket tersebut tersedia untuk seluruh karyawannya.

 

2. WOM (Word of Mouth) for Community

Ini adalah tipe promosi yang cocok untuk meraih jaringan komunitas, satu saja dari anggota komunitas puas dengan program kita, maka seluruh komunitas akan datang. Kelola WOM ini dengan baik. Caranya bisa dengan selalu mengupdate mereka baik via flier atau lisan. Jika anda punya produk-produk baru atau mengundang mereka trial jika anda ingin melakukan test produk.

 

3. Type of Payment for SES C&D

Jika product anda bernilai mahal. Ukuran untuk mahal adalah jika Price Produk anda mencapai minimal 30% gaji mereka. Maka strategi untuk mengatasinya adalah membuat program Special Credit buat mereka. Namun perlu diingat, hindarkan periode pembayaran yang terlalu lama dan Nilai Kredit yang terlalu besar. Maksimal 12 bulan dengan total angsuran tidak lebih dari 30% gaji mereka. Mengingat Turn Over mereka cukup tinggi baik pindah ke perusahaan lain atau dimutasi ke cabang lain. Serta tipe SES C&D punya kemampuan mengelola uang yang kurang terencana dengan baik.

 

Mall adalah Meeting Point, baik untuk pengunjung ataupun Karyawan. Leverage segala potensi yang ada didalam Mall itu sendiri. Eksplore maksimal. Mulai dari Captive Market yang paling konsisten yaitu Karyawan hingga para pengunjung mall.

 

Jangan sampai pepatah “kelaparan dilumbung padi” terjadi pada anda. Atau malah anda sibuk menghabisakan energi untuk mencari Traffic dari luar mall sedangkan yang didalam malah nggak keurus sama sekali

 

Karyawan Mall, Target Potensial yang Terlupakan?