Complain: Hate it or Love it?
Hmm Complain.. Apapun yang bersifat interaksi akan berpotensi menimbulkan komplain. Termasuk didunia Marketing. Kita mungkin sering membaca di Surat Pembaca Koran yang berisi “Luapan amarah” dari konsumen yang kecewa baik atas pelayanan hingga kualitas produk. Response yang diberikan oleh Beberapa company, nampak betapa mereka menanggapi serius hal ini, baik menghubungi langsung ataupun bahkan mengirim jajaran managementnya untuk mengunjungi si konsumen. Namun banyak juga yang malah membiarkan saja, ibarat kata, “Anjing menggonggong Khafilah berlalu”. Mereka tidak perduli, beberapa malah mengancam si konsumen untuk menulis permintaan ma’af atau dituntut.
Saya juga sering menerima komplain dan juga beberapa kali melakukan komplain. Tipe customer yang komplain ada yang memang mencari solusi atas kebuntuan dan ketidakpuasan atas pelayanan/kualitas, ada yang memang sudah kecewa berat hingga malah menjadi “teroris” yang nothing to lose serta Ada juga memang customer yang “genuinely” komplain atas kekurangan si produsen hingga yang malah jadi “preman” dan mau enaknya sendiri dengan mencari-mencari sejuta alasan untuk keuntungan pribadinya semata, tanpa melihat bahwa itu terjadi karena kesalahan mereka sendiri.
Okay enough.. Let’s see the Marketing view..
Apasih benefit dari Complain bagi kita para pemilik brand? Ada ga sih benefitnya buat brand kita? Atau hanya menyusahkan saja?
Do you Hate it?
Ada banyak kejadian dimana customer yang komplain membuat masalah luar biasa bagi kita dan brand kita. Wow?! Kenapa bisa begitu? Yap! Pelanggan yang tidak puas akan melakukan jalan apa saja untuk mencapai solusinya. Masih ingat dong kasus penelitian ttg susu formula yang tercemar bakteri enterobacter sakazakii, yap kasus dimulai dari hasil penelitian IPB yang menyatakan bahwa ada beberapa susu formula yang tercemar bakteri, namun secara kontroversial diputuskan untuk tidak mengumumkan Brand dan Produsen dari susu yang diteliti. Banyak opini beredar bahwa jika hasil tersebut diumumkan maka akan mengakibatkan Produk-produk yang diteliti hancur dipasaran. Namun tanggal 20 Agustus 2008, Hakim memerintahkan agar Brand susu yang diteliti agar diumumkan, setelah seorang customer bernama David ML Tobing melakukan gugatan. Sekarang kita tinggal melihat hasilnya.. Sebagai Brand Manager dari susu formula tersebut, keputusan ini bisa dibilang kiamat! Brand Image, Brand Share, Market Share yang sudah dibangun bertahun-tahun akan segera hancur seperti habis dilanda Tsunami.
Atau bisa juga melihat kejadian yang dialami oleh Danone via 2 brand nya Aqua dan Mizone. Dimana mereka harus menarik produk bermasalah pada Aqua gelas 240 ml (cup/gelas) dengan kode produksi 260409 L221 keluaran Pabrik Pandaan, Jawa Timur hasil penelitian dari BPOM Makassar dan Mizone harus rela kehilangan pasar yang sudah dibangunnya dengan susah payah akibat skandal label, gimana tidak wong para kompetitornya dengan suka cita memanfaatkan isu ini sebagai bahan promosi gratis dan powerful!.
Atau kalo masih kurang, silahkan buka Koran-koran Nasional, anda akan melihat banyak brand yang di”maki-maki” secara bebas lepas atau anda juga bisa klik Media Konsumen salah satu media Internet yang berisi komplain dari para customer.
Apa sih efek dari semua komplain-komplain ini?
1. Bad WOM
Yap! Seperti pepatah bilang, Kabar Buruk beredar kesemua orang, Kabar Baik disimpan sendiri. Apalagi Kabar buruk selalu tidak membutuhkan klarifikasi dari fakta sebenarnya. Artinya, kita harus berjuang sendiri untuk mengedukasi dan melakukan counter attack atas isu tersebut. Pada tahap ini tidak Cuma biaya yang keluar besar tapi juga waktu dan effort untuk menjalankan program edukasi secara konsisten
2. Image Degradation
Hasil Bad WOM itu akan mengakibatkan hancurnya image yang selama ini sudah susah payah dibentuk, dibangun dan dipertahankan. Air Minum sehat kok ada Jamur? Pembangunan image kembali seperti membuat produk baru lagi. Hasilnya? Bisa macam-macam ada yang bisa bangkit lagi seperti kasus Mizone namun ada juga yang masih berjuang seperti yang dialami oleh HIT.
3. Product Reconstruction
Nah dikasus ini, kita harus mengganti, memperbaiki produk kita yang bermasalah. Ini berarti akan ada kegiatan R&D kembali untuk merekonstruksi ulang bagian-bagian yang bermasalah. Untuk dibeberapa Industri, produk yang rusak kita bisa ganti langsung dengan yang lebih baik. Namun di Industri sekelas otomotif, pabrikan bahkan harus menarik fisik mobil tersebut untuk diperbaiki dan diganti.
4. Kehilangan Share dan Sales
Ini adalah ultimate effect dari komplain, kita kehilangan Market Share yang sudah kita kuasai yang tentu saja berakibat dengan kekurangan sales kita secara significant. Teburuknya adalah matinya Brand kita secara tragis.
Okay that’s the Hate Factors..
Do You Love It?
Secara eksplisit memang belum terlihat adanya Brand yang menempatkan komplain sebagai sebuah penghargaan atau menganggap komplain sebagai sebuah perhatian yang tulus dari customer mereka. Namun sekarang sudah banyak perusahaan yang membuka keran komunikasi ke para customernya. Mulai dari Customer Service Contact Center hingga Link Contact Us di Official Web mereka. Tapi semuanya baru bersifat reactive artinya keran komunikasi itu bergerak setelah ada trigger komplain dari customer. Malah dalam beberapa case, pandangan miring ditujukan atas usaha ini. Karena dianggap sebagai salah satu cara untuk mengurangi atau mengendalikan komplain yang tereksposure bebas.
Syukurnya tidak semua Perusahaan seperti itu, ada juga yang malah sudah membuka komunikasi yang lebih interaktif dengan customernya dengan membuka forum ngobrol (chat forum). Ini bisa kita temui pada web-web mereka, cukup klik link forum yang mereka sediakan, maka kita bisa bebas berinteraksi, dan yang serunya kita tidak hanya bicara dengan pihak principal tapi lebih banyak saling tukar pengalaman dengan sesama pelanggan! Anda bisa lihat forum seperti ini diantaranya pada Djarum Super Soccer dan Dagadu.
Apasih keuntungan komplain bagi kita?
1. Genuine Feedback
Bisa dibilang, ini adalah “the most real feedback”. Karena komplain merupakan curahan isi perasaan dari pengalaman langsung mereka menggunakan Brand kita. Apa yang mereka rasakan adalah cerminan selisih gap antara harapan yang mereka inginkan dengan kualitas yang kita berikan. Jika kita anggap ini sebagai titik tolak perbaikan, maka akan ada improvement yang lebih mengacu pada realita harapan mereka.
2. Loyal and Care Customer
Banyak orang yang saat kecewa memilih diam namun bersumpah dalam hati tidak akan mau lagi membeli produk kita. Nah, Para “tukang komplain” ini justru memilih bicara saat mereka tidak puas. Kenapa? Karena mereka masih mau membeli produk kita dimasa yang akan datang dan dia ingin produk kita ditingkatkan lagi kualitasnya. Persis seperti rasa sayang yang kita punya saat kita menegur dan marah pada orang yang kita sayang saat mereka melakukan kesalahan. Dengarkanlah dan lakukan perbaikan.
3. Responsibility
Kita bukan produsen yang menjual barang dan kemudian tidak peduli dengan customer kita bukan? Para customer yang komplain itu adalah target market kita bukan? Atau kita adalah tipe produsen yang tidak perduli pada target market kita? dan kita hanya berpikir ttg sales dan sales? Melakukan response yang cepat, tanggap dan menyentuh masalah justru mempertegas kita sebagai produsen yang Kredibel. Karena Kita memperlakukan para customer kita sebagai partner jangka panjang dan menjadikan mereka sebagai stake holder kita yang sama pentingnya dengan share holder kita. Facing the Burtal Fact is the way to Sustainable Brand.
So? Where are you and your brand guys?
Complain: Hate it or Love it?