Rokok : King of Emotional Branding? (27.07.08)

Rokok : King of Emotional Branding?

 

Sebuah tayangan iklan dengan seorang cowboy yang menunggang kuda melintasi gunung, kemudian zoom out hutan yang rimbun dan berakhir dengan “Come To Where The Flavor is, Come To Marlboro Country”. Atau gambaran seorang laki-laki yang berpacu dengan seekor harimau dan seekor elang dan berakhir dengan “Pria Punya Selera”. Itulah beberapa gambaran ttg Konsep TVC Rokok yang sangat membangun emosional kita.

 

Iklan yang pertama saya sebut diatas kini hanya bisa lihat di Event-event off air mereka mengingat ada compliance yang mengharuskan mereka tidak boleh beriklan di TV lagi. Sedangkan iklan yang kedua masih bisa kita lihat di TV diatas jam 10.30 malam. Aturan-aturan yang semakin ketat, justru membuat mereka semakin mantap melangkah ke level Brand yang lebih tinggi. Now, They are not talking about Price, Product or Place anymore but they are chasing the consumer heart through the Emotional Branding.

 

Sejujurnya mereka sangat “ahli” bermain dengan Emotional, of course keadaan memang memaksa mereka begitu. Asyiknya rame-rame, Nikmatnya Kesempurnaan, Kharisma Indonesia, Enjoy Aja dan masih banyak lagi tag line – tag line yang bicara ttg emotional. Menarik memang, karena tantangannya adalah bagaimana mentransformasikan Rasa dari Rokok + Segmentasi + Positioning hingga bisa menyentuh target market yang diinginkan melalui komunikasi yang tidak bicara produk. Apalagi jika targetnya adalah akuisisi pelanggan, hmm kekuatan tag line benar-benar sangat diandalkan!

 

Anyway, ada key of challenge yang kita dapat, How to Transform Product + Segmentation to the right Positioning with objective to grab the right Target Market through Emotional Branding?

 

Okay kita bahas yuk! Apa sih Emotional Branding? Secara sederhana adalah sebuah strategy komunikasi dimana kita lebih menonjolkan kedekatan emosional antara produk/brand kita ke konsumen. Dalam frame ini, kita bicara beyond the product content. Kita menyampaikan benefit produk kita dalam bentuk perasaan yang akan dirasakan oleh konsumen. Hmm.. perasaan.. yap itu adalah key word untuk Emotional Branding.

 

Secara flow, simplenya adalah Product Approach à Emotional Approach

Produk itu akan efektif dibawa ke perasaan jika consumer sudah mencapai tahap Addict ke produk tersebut. Jika masih masuk dalam tahap akuisisi apalagi masih baru tahap launch rasanya emotional branding masih belum bisa menjadi pilihan strategi komunikasi. Nah, disinilah tantangannya bagi para perusahan rokok, mereka sudah harus mentransformasikan produknya ke perasaan hingga perkembangan approach nya hanya bisa dibaca dari perubahan tag line nya saja tepat saat produk itu dilaunch. What a great Challenge indeed?

 

Membuat orang merasakan kehadiran brand kita di diri mereka bukan suatu yang mudah namun juga bukan rocket science. Apa aja sih yang menjadi key drivernya? Secara umum beberapa diantaranya adalah:

1. Satisfaction beyond Expectation

Nah ini adalah basic nya, dimana consumer harus puas dengan product itu sendiri. Tingkat kepuasan itu sendiri bisa dinilai dari perbandingan nilai rupiah yang dibayar dengan kualitas yang diterima. Atau Gap antara persepsi dan kualitas yang diterima secara positif semakin besar. 

2. Consistency of Brand Image

Ini adalah kemampuan menjaga kualitas dari produk/brand pada setiap titik pertemuan antara Brand dan Consumer (mulai dari TVC, Trade Market, Packaging, dll). Yang pada akhirnya menciptakan keterikatan dan ketergantungan. Konsistensi ini akan membangun Brand Image yang mana Brand Valuenya berkembang sesuai dengan konsistensi penjagaan Brand Image tersebut.

 

Perasaan itu timbul dari Kepuasaan, dan Kepuasan yang terus menerus didapatkan akan mempertinggi tingkat Perasaan tersebut. Menciptakan ikatan emosional tidak bisa hanya via Iklan yang menggugah perasaan saja. Perasaan yang sustainable tidak bisa diciptakan secara instant.

 

Rokok paham akan konsep perasaan, itulah sebabnya mereka secara gigih terus menerus menjaga kehadiran mereka diantara pelanggannya, mulai dari Event-event yang mendekatkan brand dengan konsumen hingga secara konsisten menjaga harga, kualitas dan kehadiran produknya dimasyarakat. Bila ada produk baru, kita akan sering melihat mereka melakukan Activation dimana-mana. Usaha ini juga tidak surut walau produk mereka sudah besar sekalipun. Transformasi Produk ke Perasaan hanya akan terjadi via consumer Engagement, Kepuasan dan Konsistensi.

 

We could learn from them on how to transform Product to Emotional..

 

Rokok : King of Emotional Branding?

Advertisement

Emotional Brand = The Ultimate Stage of Brand? (14.02.08)

Emotional Brand = The Ultimate Stage of Brand?

 

Okay, saya tahu ttg life cycle brand dan jika sudah secara emosional terikat dengan brand maka customer kita sudah seperti Evangelis. Ada banyak contoh ttg brand brand yang menjadi heritage dan sudah masuk fase emotional brand. Pertanyaannya apa iya saat Brand sudah menjadi emotional brand maka itu adalah puncak dari stage of brand? Than what? Just maintaining?

 

Hmm, banyak memang factor yang menguntungkan kita saat customer terikat secara emosional dengan brand kita seperti Evangelis, mereka akan menjadi brand advocate kita. Bahkan mereka akan menjadi freelance Promotor untuk brand kita. Tak heran sekarang kita lihat, banyak iklan yang menjurus kesana. Banyak brand sibuk membuat iklan-iklan yang menyentuh emosional pemirsa. Mulai dari ice cream, pembalut, pembersih wajah bahkan pesawat terbang pun melakukan sama.

 

Apakah ada stage diatas Emotional Brand? Tidak ada karena kita tidak tahu? Atau Tidak ada karena kita sudah puas dengan prestasi kita membuat emotional brand? Atau memang kita kurang explore?

 

Let’s check, apakah emotional brand is the ultimate stage? Atau jangan-jangan itu adalah the beginning of the next journey of the brand.

 

Mungkinkah pada tahap Emotional Brand itu ada tahap menjadi Emotional Brand yang menjadi seperti basic product again? Jadi semacam naik level with the same brand stage cycle.

 

Menjadi Emotional Brand dan jika pada fase itu hanya maintaining, persis seperti Klimaks Lomba Lari yang seru saat berlomba dan gembira saat jadi juara dan selebihnya Jadi Juara Lomba menjadi hal yang biasa dan tidak istimewa lagi. Semua penggemar sudah mengasosiasikan Lomba itu dengan kita sebagai sang juara tak terkalahkan. Tapi daya tarik atas lomba itu menjadi berkurang karena sudah yakin siapa yang juara. Is it what we want?

 

Or my be it’s better being a regular brand with non emotional approach with an emotional impact. Simplenya seperti Jam tangan yang ada di tangan kita. That’s a regular thing (standard) but once it’s not there, you will look around the world to find it.

 

Emotional Brand = The Ultimate Stage of Brand?