Harga itu Milik Siapa? Consumer atau Prinsipal?
Temen saya sewot saat tau baju yang dia beli minggu lalu seharga Rp.450.000,- , sekarang Cuma dihargai 50%nya saat bekunjung kembali ke store tempat dia beli. Saat ditanya ke supervisor storenya, mereka dengan enteng bilang “wah.. ma’af pak, ini sudah programnya” sebuah pernyataan yang secara tidak langsung bilang “itu adalah DL alias Derita Lu!”. Atau bisa lihat habit beberapa Ibu-ibu yang mulai berubah menjadi “pialang saham” alias pemantau harga barang. Kalo ditanya, kok belum belanja? “wah jangan, kita mesti liat Koran.. suka ada diskon gede mendadak. Lumayan.. bisa hemat. Abis kalo ga ditahan, bisa rugi ntar. Wong harganya suka berubah-berubah kok..”
Belum lagi kalo kita bicara tariff GSM yang berubahnya mungkin sudah masuk dalam tahap “seenak jidatnya!” Gimana nggak sewot, wong pas beli kemaren tuh kartu gara-gara dia bilang “telp 2 menit pertama dan gratis untuk 10 menit dimuka” eh sekarang berubah menjadi “telp 3 menit pertama dan gratis 15 menit dimuka” sekilas terlihat biasa saja dan terlihat konsumen diuntungkan. Namun pertanyaan basicnya adalah, saya kemarin beli kartu itu karena promosi yang pertama! Nah kalo saya ga suka dengan promosinya yang terbaru, apa saya harus ganti provider lain??
Harga memang salah satu dari komponen basic Marketing Mix (produk, place & promotion). Sebagai sebuah komponen strategi, maka Harga seringkali menjadi hot tools yang sering digunakan dalam Strategi Marketing. Kenapa? Selain memang cara yang termudah alias gampang, efeknya pun bisa dilihat seketika. Harga itu seperti bahasa universal, mudah dimengerti oleh Marketer, Top Management, Retailer, Distributor hingga (tentu saja) konsumen. Selain itu Harga juga menjadi semacam emergency plan jika Marketing Program tidak memuaskan atau jauh dari apa yang saya sebut dengan “salesman screaming!” yaitu paniknya orang sales mengisi stock akibat kampanye Marketing yang sangat berhasil.
Realitanya, soal harga memang sangat-sangat sensitive. Bagi Prinsipal ini menyangkut besaran net profit. Bagi consumer ini menyangkut besaran Cost. Dan hubungan bagi keduanya secara umum berbanding terbalik, walau tentu ada titik equilibrium yang bisa mengakomodasi kepentingan keduanya. Nah mengingat sensifitas harga, pertanyaannya adalah Harga itu Milik Siapa sih? Consumer atau Prinsipal?
Zoom in yuk!
Milik Prinsipal?
Yah..udah pasti milik principal dong nald. Wong mereka yang punya produk, gimana sih! hehehehe anyway let’s check this out. Bagi principal, harga itu merupakan:
1. Komponen Produksi
Basically, Harga merupakan komponen produksi. Dimana Harga menjadi representasi dari biaya produksi, biaya biaya distribusi hingga profit yang diinginkan perusahaan. Sebagai komponen Produksi, maka harga selalu bersifat positif ke Biaya dan Margin. Artinya, Harga tidak mungkin lebih rendah dari total biaya dan Margin karena jika lebih rendah artinya rugi hehehehhe.. Perubahan Harga hanya didasarkan atas perubahan komponen dasarnya, yaitu jika biaya produksi berubah, maka Harga juga berubah. Sehingga Harga sebagai komponen produksi cenderung stabil dan bersifat jangka panjang.
2. Komponen Pasar
Harga sebagai komponen Pasar. Pada bagian ini, sifat harga jadi sangat flexible. Dimana harga bisa meningkat dan turun tanpa harus dipengaruhi atau melihat factor-faktor biaya produksi. Artinya, harga bisa naik jauh lebih tinggi dari biaya produksi dan bisa juga turun lebih rendah dari biaya produksi. Loh kok bisa?? Iya karena pada bagian ini yang menentukan harga bukan lagi biaya produksi tapi Permitaan dan Penawaran barang tersebut. Karena pada tahap ini Harga merupakan komoditas dimana harga barang ditentukan atas hukum pasar yaitu Permintaan dan Penawaran. Saat permintaan tinggi dari consumer dan penawaran rendah, maka harga akan melambung tinggi. Begitu juga saat permintaan rendah dan penawaran tinggi, maka harga akan jatuh bebas hehehe. Ini bisa dilihat di komoditas seperti minyak, gula, beras.
3. Komponen Marketing
Pada bagian ini Harga sangat dipengaruhi oleh strategi Marketing. Dimana turun naiknya harga bukan semata-mata ditentukan oleh Produksi atau Pasar tapi ditentukan oleh si Marketer sebagai pembuat strategi. Sehingga harga bisa ditentukan jauh lebih rendah dari biaya produksi walaupun permintaan tinggi ataupun jauh lebih tinggi dari biaya produksi walaupun permintaan rendah. Loh kok bisa? Ya bisa karena disini Harga hanya merupakan bagian dari sebuah strategi Marketing. Perubahan Harga jadi hanya didasarkan oleh persaingan dengan objective utama untuk merebut pasar seluas mungkin.
Dari 3 komponen diatas, kita bisa melihat bagaimana luasnya dominasi principal atas harga. Dimana secara tidak langsung maupun langsung, atas nama salah satu dari 3 kepentingan diatas, Prinsipal bisa merubah harga sesuka hati tanpa harus meminta persetujuan dari consumer. Lihat saja, malah ada yang nulis “harga berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan” weleh..weleh..
Milik Consumer?
Secara umum dari sisi consumer sifat harga itu dibagi dua:
1. Harga Produk itu sendiri (Single Price)
Ini adalah harga yang melekat dibarang, dimana sebuah produk langsung punya nilai tanpa melihat after sales servicenya. Contoh: Harga Televisi adalah harga yang terpisah dengan harga service nya. Atau harga Wafer yang langsung merupakan harga produk tersebut. Disini, Consumer langsung membeli produk sesuai dengan harga yang tertera. Dan manfaat yang diterima consumer hanya terbatas pada produk nya.
2. Harga Keseluruhan (Bundling Price)
Disini, Harga merupakan salah satu factor dalam produk. Saat mereka membeli sebuah produk sudah termasuk dengan jasa, harga dan manfaat lainnya. Contoh: membeli sebuah starter pack provider GSM. Maka consumer itu membeli jaringan, fitur dan fasilitas termasuk dengan tariff. Karena sifatnya satu kesatuan dan saling mempengaruhi maka ini disebut dengan bundling produk.
Nah, untuk point yang pertama (single price), perubahan atas harga memang sangat berpengaruh untuk consumer namun Karena tidak punya switching cost, maka bagi consumer ini tidak terlalu masalah. Pendek kata, kalo tidak suka ya tinggal ganti yang lain aja. Simple bukan.
Namun untuk Point yang kedua (bundling price), ini yang sekarang bener-bener menjadi masalah. Bayangkan kalo salah satu bagian dari produk tersebut berubah, apakah masih merupakan produk yang sama yang dibeli consumer? Okay agar tidak terlalu kecepatan membahasnya, kita mundur dikit. Contoh: Ketika kita membeli paket TV berbayar, maka kita membeli kualitas siaran, jenis siaran yang ada didalamnya. Nah seperti kasus Astro, dimana banyak consumer subscribe karena ada EPL (English premier league) di Astro. Nah kalo sekarang tidak ada? Masa consumer disuruh berhenti begitu saja? Atau bisa juga dilihat pada kasus provider GSM sekarang. Dimana mereka gencar berganti tariff sesering mungkin. Contoh: Saya join ke Provider A karena mereka punya jaringan yang bagus serta tariff perdetik. Namun, tiba-tiba mereka mengganti tariff dengan program “sesukamu” . Nah saya tidak suka dengan tariff baru ini, apa yang harus saya lakukan? Ganti provider? Wong nomer saya sudah dimana-mana…
Nah terlepas dari banyak factor alasan yang bisa kemukakan dan dicari-cari, Kepemilikan Harga itu sebenernya kesiapa sih? Fair ga sih kita merubah harga sesuka hati kita tanpa bicara ke konsumen kita? Apalagi untuk produk-produk yang bersifat bundling price. Kompetisi harusnya membuat sebuah industri semakin efesien dan efektif dan untuk consumer kompetisi membuat perceived value dari sebuah produk yang dibelinya semakin tinggi. Bukan malah bermain dengan garis price tolerance dari consumer hingga ke melebihi batas tertingginya.
Yang sekarang berkembang adalah para principal sepertinya berusaha “mengkandangkan” consumer dan kemudian “memerahnya” dengan tanpa melihat apa yang dirasakan oleh consumer. Ini bisa dilihat dengan praktik mempertinggi tingkat Switching Cost melalui berbagai retention program, kemudian bermain dengan harga sesuka hati. Idealnya, a Big sustainability Brand born from a crowd of Big and sustainability Consumer.
Harga itu Milik Siapa? Consumer atau Prinsipal?
Penentuan harga merupakan salah satu tema yg paling ‘hot’ dalam diskusi internal di semua perusahaan.
Menjawab pertanyaan Pak Ronald, kalau menurut saya harga itu milik ‘market’ (pasar).
Prinsipal bisa memasang harga setinggi mungkin, tapi jik a konsumen nya tidak membelinya maka itu hanya berupa ‘harga fiktif’ tanpa ada transaksi. sebaliknya jika konsumen ingin membeli dengan harga serendah mungkin, tetapi tidak ada yang mau menjual dengan harga itu, maka hanya ada ‘harga mimpi’ tanpa transaksi.
Penentuan harga inisiatifnya memang dari penjual (retailer/prinsipal) tetapi penentuan harga akhirnya akan ditentukan oleh semua stakeholder di market (ingat porter 5 forces). Faktor utama penentuan harga menurut saya adalah positioning yg di tentukan oleh prinsipal dan persepsi konsumen atas produk itu.
kalau membaca tulisan Ronald di atas, sorotan lebih ke strategi harga untuk memuaskan konsumen. Selama ini memang strategi harga kebanyakan dibuat agar produk itu laku, bukan untuk menjaga kepuasan pelanggan. Untuk menjaga kepuasan pelanggan dengan strategi harga (jika itu memang dirasakan sebagai salah satu faktor utama) harus dilakukan dengan strategi berbeda untuk masing-masing industri dan masing-masing merk.
misalkan di contoh Ronald untuk produk premium memang lebih baik kalau memberikan promo berupa hadiah dari pada pemotongan harga langsung. sedangkan untuk produk selular, jika provider menguasai teknologi pembuatan billingnya, sebenarnya provider tetap bisa memberikan ‘harga lama’ per individu …
sorry panjang …
Selamat Pagi Bang
boleh juga tu pancingan pemikiran tentang pricing saya jadi ikan ikut makan umpan-nya bang Rhonald. time to think, menurut saya sih harga kalu dikaitkan dengan prinsipal dan milik konsumen merupakan zaman yang berbeda. kalu prinsipal itu era marketing 1.0 dimana orang beli barang terkait produk centric beserta variabel-nya. dan harga milik konsumen merupakan era marketing 2.0 dimana perusahaan mendengungkan slogan konsumen adalah raja,customer satisfaction dan jargon lain-nya sehingga benar-benar customer centric,lha ini ada yang menarik tentang harga yang disebut pak hermawan sebagai marketing 3.0 yang mengabungkan internal perusahaan dan keinginan konsumen jadi satu roh didalam badan, kalu saya menyimpulkan kepada komunitas konsumen yang berdasar visi-misi perusahaan,..jadi harga merupakan pilihan terakhir dalam pembelian suatu barang,meraka menginginkan value dari barang tersebut dan value yang didapatkan dari perusahaaan …..seperti djarum black.gimana bang rhonald pemikiran saya ini.terima kasih.
bagus hariyono.